Senin, 30 Mei 2016

TEORI BELAJAR MENURUT PANDANGAN HUMANISME DAN LANDASAN FILSOFILNYA



TEORI BELAJAR MENURUT PANDANGAN HUMANISME DAN LANDASAN FILSOFILNYA
  1. Landasan Filosofis Belajar Humanisme
Aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik. Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan relatif masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus-menerus mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia.
Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan yang beragam pula. Kriscenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas atau guru dapat dikatakan humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Teori humanistik menyatakan bahwa bagian terpenting dalam proses pembelajaran adalah unsur manusianya. Humanistik lebih melihat sisi perkembangan kepribadian manusia dibandingkan berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit”. Manusia akan mempunyai kemampuan positif untuk menyembuhkan diri dari “sakit” tersebut, sehingga sisi positif inilah yang ingin dikembangkan oleh teori humanistik
Teori belajar humanistik bertujuan bahwa belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika telah memahami lingkungan & dirinya sendiri. Teori belajar berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang perilakunya bukan sudut pandang pengamatnya.  Teori belajar ini sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang ilmu filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dibanding tentang psikologi belajar. Teori humanistik lebih mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan serta tentang proes belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Selain teori behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanistik juga penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajardalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya (Asri. 2005).
  1. Pengertian Teori Belajar Humanisme
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
  1. Proses pemerolehan informasi baru,
  2. Personalia informasi ini pada individu.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna ataua “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru kedalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal (Asri. 2005).
Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadi teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya.
Dalam arti ini elektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur – unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adaya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori – teori apapun asal tujannya tercapai yaitu memanusiakan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak ahli didalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan – pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing – masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai.
Teori – Teori Belajar Humanisme
Menurut teori humanistime, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.Teori ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidikan ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan potensi yang ada pada dirinya.
Ciri-ciri Teori Humanisme
Pendekatan humanisme dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika siswa memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada salah satu ide penting dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harus mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa mengetahui apa yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut dapat memahaminya. Dan juga siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Dengan demikian maka siswa diharapkan mendapat manfaat dan kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang meliputi bagian/domain yang ada yaitu dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan kata lain, pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam
pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.
Tokoh – Tokoh Humanisme
Tokoh penting dalam teori belajar humanistime secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers. Salah satu tokoh penting dari Teori Humanistik ini ialah “ Arthur W. Combs “ ( 1912-1999 ). Arthur bersama dengan Donald Snygg ( 1904-1967 ) mencurahkan perhatian pada dunia pendidikan.
ü  Arthur Combs (1912-1999)
Arthur Combs bersama dengan Donald Syngg menyatakan bahwa belajar terjadi apabila mempunyai arti bagi individu tersebut. Artinya bahwa dalam kegiatan pembelajaran guru tidak boleh memaksakan materi yang tidak disukai oleh siswa. Sehingga siswa belajar sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya paksaan sedikit pun. Sebenarnya hal tersebut terjadi tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesautu yang tidak akan memberikan kepuasan bagi dirinya.
Sehingga guru harus lebih memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa diri siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
ü  Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal : suatu usaha yang positif untuk berkembang; kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
ü  Carl Roger
Seorang psikolog humanism yang menekankan perlunya sikap salaing menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalahkehidupannya.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran huanisme adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu;
  1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak penting artinya.
  2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasian bahan dan ide baru sebagai bahan yang bermakna bagi siswa. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
  3. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, Rogers menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah;
  1. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
  2. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
  3. Belajar yang menyangkut perubahan didalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolakanya.
  4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar semain kecil.
  5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda maka terjadilah proses belajar. Belajar bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
  6. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan bertanggungjawab dalam proses belajar itu.
  7. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek merupaan cara yang dapat memberi hasil yang mendalam dan lestari.
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreatifitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupaan cara kedua yang penting.
  1. Belajar yang paling berguna secara sosial dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuan kedalam diri sendiri setelah mengenai proses perubahan itu.
Satu model pendidikan terbuka mencakup konsep pengajar guru yang fasilitas dan kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah;
    1. Merespon perasaan siswa.
    2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.
    3. Berdialog dan berdisusi dengan siswa.
    4. Menghargai siswa.
    5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
    6. Menyesuaian isi kerangka berfiir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa).

Belajar Menurut Humanisme
Teori belajar humanisme ini memandang bahwa perilaku manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh factor internal dirinya dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuan. Menurut teori belajar humanisme, aktualisasi diri merupakan puncak perkembangan individu. Ia mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya utuh, bermakna dan berfungsi, kebermaknaan perwujudan dirinya itu bahkan bukan saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Teori belajar humanisme ini yakin bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam individu. Bahkan aliran ini mengabaikan factor intelektual dan emosional. Menurutnya, kedua factor tersebut tidak terlibat di dalam proses belajar.
Menurut teori ini, proses belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik. Belajar yang bermakna tidak lain adalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu.
Menurut teori humanisme, salah satu karasteristik yang harus ada pada guru / pendidik adalah memiliki kemampuan memotivasi belajar peserta didiknya. Selain itu guru memiliki sikap empati, terbuka, keaslian, kekonkritan,dan kehangatan.
Sikap empati merujuk kepada sikap guru yang mamu memposisiskan dirinya pada kerangka berpikir peserta didik sehingga guru dapat merasakan apa yang peserta didik rasakan dan alami. Keterbukaan merujuk pada kemampuan guru untuk membuka diri, sikap dikritik, diberi masukan, siap dinilai, dan diberi ujian. Keaslian merujuk kepada pemampilan apa adanya dan tidak dibuat-buat. Kekonkretan merujuk pada kejelasan dalam menyatakan sesuatu.memberi tanggung jawab sesuai dengan kemampuan peserta didik dan realistis. Kehangatan merujuk pada jalanan komunikasi yang secara psikologis terasa nyaman dan aman bagi peserta didik disertai ketulusan dalam memberikan pelayanan pendidikan.
Aplikasi dan Implikasi Humanisme
a. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.  Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning). Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa “sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya”. Setiap pribadi manusia memiliki ldquo, (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang yang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi & ldquo; dunia & idquo;, minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learners-centered teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif, peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian mem - ldquo; fungsi & idquo; -kan dirinya di dalam masyarakat secara optimal.
Tujuan sejati dari pendidikan adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai (income generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis.

Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N. Driyarkara). Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin & ldquo; penuh & idquo; sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.
Saat ini model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis: adanya suasana saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat/berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan teman yang mempunyai pandangan berbeda.
Oleh karena itu, paradigma pembelajaran dan pendidikan seyogianya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi, pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala eksistensinya. Dengan demikian, menurut Azyumardi Azra yang diamini Conny C Semiawan (Kompas, 2/12/2004), baru anak didik bisa bebas mewujudkan keseluruhan potensi dirinya.
Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Seperti misalnya kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subyek (dan juga obyek) pendidikan dan bukannya obyek semata-mata.
Pembudayaan nilai kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan merupakan kunci rekulturasi. UNESCO merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan pembelajaran yang amat menunjang proses ini, pada lima konsep pokok paradigma pembelajaran dan pendidikan, yaitu:
  1. Learning to know: guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi peserta didiknya. Information supplier (ceramah, putar pita kaset) sudah tidak jamannya lagi. Peserta didik dimotivasi sehingga timbul kebutuhan dari dirinya sendiri untuk memperoleh informasi, keterampilan hidup (income generating skills), dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.

  1. Learning to do: peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan. Peserta didik dilatih untuk aktif-positif daripada aktif-negatif. Pengajaran yang hanya menekankan aspek intelektual saja sudah usang.

  1. Learning to live together: ini adalah tanggapan nyata terhadap arus deras spesialisme dan individualisme. Nilai baru seperti kompetisi, efisiensi, keefektifan, kecepatan, telah diterapkan secara keliru dalam dunia pendidikan. Sebagai misal, sebenarnya kompetisi hanya akan bersifat adil kalau berada dalam paying kooperatif dan didasarkan pada kesamaan kemampuan, kesempatan, lingkup, sarana, tanpa itu semua hanyalah merupakan kompetisi yang akan mengakibatkan yang “kalah” akan selalu “kalah”. Sekolah sebagai suatu masyarakat mini seharusnya mengajarkan “cooperatif learning”, kerjasama dan bersama-sama, dan bukannya pertandingan intelektualistik semata-mata, yang hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi termakan oleh kepandaiannya sendiri dan juga membodohi orang lain.

  1. Learning to be: dihayati dan dikembangkan untuk memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Setiap peserta didik memiliki harga diri berdasarkan diri yang senyatanya. Peserta didik dikondisikan dalam suasana yang dipercaya, dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang unik, merdeka, berkemampuan, adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri, sehingga terus menerus dapat menemukan jati dirinya. Subyek didik diberikan suasana dan sistem yang kondusif untuk menjadi dirinya sendiri.

  1. Learning throughout life yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur hidup. Pelaku pendidikan formal hendaknya berorientasi pada proses dan bukan pada hasil atau produk semata.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Teori belajar humanisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Tujuan utama para pendidikan ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan potensi yang ada pada dirinya.
2. Belajar menurut paham Humanisme adalah proses belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi peserta didik. Belajar yang bermakna tidak lain adalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu
3. Implikasi pembelajaran humnisme adala adanya sistem pendidikan yang hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain. Seperti misalnya kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subyek (dan juga obyek) pendidikan dan bukannya obyek semata-mata.

DAFTAR PUSTAKA

http://phyetria.guru-indonesia.net/artikel_detail-21142.html.
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.bibliotheque-humaniste.eu/anglais/08_huma.htm
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.americanhumanist.org/humanism/The_Humanist_Philosophy_in_Perspective



Tidak ada komentar:

Posting Komentar